Potret Kesendirian di Nunggu Teka
Apa yang diharapkan dari kehidupan, setelah usia meranggas pasti? Tidak lain tentunya sebuah kebahagiaan yang bagi sebagian orang terwujud dalam kebersamaan dengan keluarga. Sederhana, namun tak semua orang bisa mendapatkan kemewahan tersebut.
Tengoklah sekitar, saat banyak para lanjut usia yang harus hidup sendiri. Pasangannya telah pergi menuju keabadian, pun keturunan tak lagi di sisi, pergi mengepakkan sayap ke semesta luas.
Di saat seperti itu, momen sekali setahun seperti mudik saat lebaranlah yang menjadi asa bagi mereka. Mungkin hanya seminggu dari puluhan minggu yang ada untuk bercengkrama bersama anak cucu. Rasanya itu sudah lebih dari cukup.
Dalam film pendek berjudul Nunggu Teka, Mahesa Desaga dengan apik menggambarkan betapa pentingnya momen mudik tersebut dari sudut pandang orang tua. Cerdasnya, tanpa menggunakan berbagai macam setting tempat, hanya bermodalkan sebuah rumah tua, namun saya dapat menyelami jiwa penghuninya: Supatemi.
Sebab, rumah bukan sekadar fisik keterbangunan. Tumbuh kembang penghuninya terekam di setiap sudut dan ruang. Keramik yang mengusam, dinding yang tak sehalus dulu, perabotan yang mengusang seolah-olah ingin berkata bahwa,”Hey, aku ikut menua bersamamu.”
Menonton Nunggu Teka, saya seperti sedang melongok ke dalam melalui tepi jendela rumah ini. Kesendirian yang dialami Supatemi saat menunggu anaknya terlihat jelas meski tanpa ekspresi berlebihan atau dialog yang didramatisasi.
Adegannya sederhana berupa gambaran kegiatan sehari-hari tetapi mampu memperlihatkan kondisi kesepian seorang Supatemi. Lihat saja saat ia menyalakan televisi. Bukan untuk menonton, hanya untuk memecah kesunyian. Atau saat matanya beredar ke sudut-sudut rumah sambil memainkan rambut maupun jari jemarinya, seakan bingung bagaimana menghabiskan waktu.
Menikmati film ini di masa pandemi entah mengapa mengetuk emosi terdalam saya. Membayangkan betapa banyak orang tua yang harus menelan kekecewaan karena tidak bisa berkumpul sejenak dengan keluarga terkasih.
Akhirnya kita pun dituntut untuk kreatif agar bisa bersua meski tanpa kehadiran fisik. Tak sempurna, tetapi semoga itu bisa menjadi pelipur lara untuk orang tua kita yang terjebak kesendirian.
Sungguh, tidak ada salahnya juga untuk memperhatikan lingkungan sekitar. Siapa tahu, banyak lansia lain yang juga harus menelan kekecewaan. Mungkin kita bukan yang mereka rindukan. Tetapi jika sedikit perhatian kita bisa menjadi penyemangat mereka untuk kembali merajut harapan Nunggu Teka di momen mudik berikutnya, mengapa tidak?
Haruskah Berakhir Sendiri?
Kondisi Supatemi memang lumrah ditemui. Di ujung usia, para lansia ini harus bertahan hidup sendiri. Tinggal sendiri dianggap lebih baik saat hidup bersama keluarga tidaklah memungkinkan. Tak jarang mereka pun meninggal dalam keadaan sunyi.
Meski belum umum di Indonesia, seharusnya orang-orang seperti Supatemi layak mendapatkan kebahagiaan baru dengan tinggal di rumah jompo. Bukan berarti dengan tinggal di sana berarti anak-anak telah membuang mereka. Sungguh, panti jompo mampu menjadi alternatif lebih baik dibandingkan dengan kesendirian. Lansia ini dapat berkumpul bersama teman segenerasi. Urusan kesehatan dan makanan pun terjamin berkat adanya petugas yang membantu.
Di rumah baru ini, paling tidak jika sudah tiba saatnya bagi mereka untuk menutup mata, dan keluarganya belum bisa datang segera, ada teman-teman yang bisa menemani. Sehingga para lansia tidak perlu berakhir sendiri di rumah tua mereka.