Tentu, mengangkat kisah film dari novel laris mengandung risiko besar: apakah eksekusinya akan berhasil memuaskan ekspektasi penonton?
Sedari awal, perahu kertas bukanlah sekadar sebagai simbolis melainkan menjadi bagian penting dalam berkisah. Perahu kertas merupakan alat komunikasi Kugy (Maudy Ayunda) untuk mencurahkan isi hatinya kepada Sosok Neptunus (Penguasa Laut). Kugy merasa dirinya adalah agen dengan radar Neptunus yang dikirim ke bumi. Imajinasinya yang tinggi tentang cerita-cerita pun akhirnya melahirkan sebuah mimpi bahwa ia ingin menjadi seorang penulis dongeng.
Tetapi Kugy sadar bahwa mimpinya tidak realistis. Di saat seperti itulah, Kugy bertemu dengan Keenan (Adipati Dolken) yang memiliki keinginan menjadi seorang pelukis, sebuah mimpi yang sama-sama dianggap tidak umum.
Saat Kugy dan Keenan beradu pendapat tentang mimpi
Adegan yang menarik muncul saat mereka saling membicarakan mimpi: Kugy yang berusaha realistis dengan mendapatkan hidup layak seperti orang “normal” barulah mengejar mimpinya dan Keenan yang beranggapan bahwa selayaknya mimpi harus dikejar sesegera mungkin, tanpa peduli pendapat orang lain.
Meski berbeda pandangan tentang cara menggapai mimpi tetapi mereka sebenarnya saling mengagumi. Menimbulkan sebuah romansa dua insan yang terikat benang kuat namun tidak diekspresikan lewat kata-kata yang nyata.
Ide cerita yang diangkat memang menarik, sederhana tetapi seharusnya mampu merangkul banyak penikmat karena kedekatannya dengan keseharian.
Bukankah semua pernah mengalami masa muda yang penuh gejolak dalam mewujudkan cita yang dibumbui dengan manis persahabatan juga asmara?
Seperti menyibak diary seseorang, film Perahu Kertas ini mengalir dengan alur maju. Nama lokasi dan tahun juga dituliskan di setiap transisi latar adegan. Sayangnya, alur penceritaan seperti ini cenderung kurang bertenaga membangun ketegangan emosi. Apalagi ditambah dengan banyaknya konflik yang dimunculkan sementara eksekusi detail cerita tidak begitu mulus.
Kurang gregetnya film ini juga terasa dari kelemahan penggambaran karakter serta kurangnya penghayatan beberapa pemain. Misalnya, dari cara film ini menerjemahkan keanehan cara berpikir Kugy dengan gerak-gerik yang terasa kikuk.
Begitu juga Adipati Dolken yang menjadi tak bisa dibedakan kapan sesungguhnya ia marah dan kesal karena hampir lebih dari separuh film ia hanya terlihat murung dan bingung. Bagi pecinta novelnya, detail luapan perasaan Keenan yang selalu mencari keberadaan dan kesempatan untuk dekat dengan Kugy pun juga terasa hilang.
Tentu saja masih ada yang bisa kita nikmati, visual yang ditampilkan begitu memikat dari permulaan film. Keindahan Bali yang ditampilkan lewat lukisan, tarian, dan pun menjadi nilai tambah yang eksotis. Belum lagi iringan latar musik yang disajikan sungguh nyaman menemani sepanjang film, terutama saat adegan monolog Kugy yang disajikan dengan diksi yang puitis.
Alunan lagu tersebut seketika membuat kita merasa seperti hanyut ikut berlayar bersama perahu kertas Kugy.
Cerita Kugy dan Keenan memang belum berakhir. Tetapi sayangnya untuk sekuel pertama ini Perahu Kertas memang masih perlu berusaha keras untuk berlayar dengan mulus. Namun semoga, Radar Neptunus dapat menangkap hati lebih banyak orang lagi di sekuel Perahu Kertas selanjutnya.
Depok, 3 Juli 2020
Tulisan ini disertakan dalam lomba #ulasfilmkemdikbud