Adakah di sini yang rindu dengan upacara bendera di hari Senin? Sebuah hari yang sakral bagi setiap pelajar karena di hari tersebut, mereka wajib berpakaian seragam lengkap. Topi, dasi, pin, ikat pinggang harus terpasang dengan sempurna. Oh iya, tidak lupa juga dengan sepatu yang harus berwarna hitam. Jika tidak lengkap, maka bersiaplah untuk mendapatkan hukuman disiplin.
Nostalgia ini muncul ketika saya menyaksikan Bubar, Jalan karya Gerry Fairus Irsa. Film berdurasi 10 menit 21 detik ini mampu mengingatkan saya kepada masa sekolah. Meski upacara menjadi hal yang rutin, tetapi ada kalanya hal tersebut menjadi menegangkan ketika tiba waktunya diamanatkan menjadi petugas upacara.
Bayangkan, saat menjadi petugas maka kami harus berdiri di tengah terik matahari dan disaksikan seluruh sekolah. Dan dengan apik, semua hal tersebut disajikan dalam Bubar, Jalan.
Pengalaman menjadi pemimpin
Ahong, adalah seorang murid yang terpilih menjadi pemimpin upacara. Film ini menggambarkan kegugupan Ahong sesaat sebelum bertugas. Bahkan sampai sukses membuatnya bolak-balik ke kamar mandi dan membuat teman-teman lainnya menunggu.
Suasana pagi yang terik pun menambah kegugupan Ahong. Sudut pengambilan kamera bergantian, terkadang berposisi sebagai sudut pandang Ahong dan terkadang menyorot Ahong secara fokus. Kedua cara pengambilan kamera ini membantu kita memahami apa yang dirasakan tokoh utama.
Ahong sampai memejamkan mata karena silaunya matahari dan tak sadar bahwa sudah gilirannya untuk maju. Klimaksnya adalah Ahong salah memberikan komando. Alih-alih meminta peserta hormat kepada Bendera Merah Putih, ia malah memberi komando : Bubar, Jalan! Sebuah kesalahan yang diamini oleh para peserta upacara dengan mengambil langkah meninggalkan lapangan.
Jika kamu ada di posisi Ahong, apa yang akan kamu lakukan? Dan jika kamu menjadi teman-teman Ahong yang juga menjadi petugas upacara, apa pula yang kamu lakukan?
Film ini menjadi sangat manusiawi, ketika Ahong diceritakan terpaku dan bingung menghadapi situasi tersebut. Bagaimanapun Ahong adalah seorang anak kecil yang belum tentu siap dengan keadaan luar biasa seperti itu.
Respon teman-teman Ahong yang tidak menertawai atau menyalahkan Ahong cukup mengesankan. Di saat Ahong terpaku, petugas upacara lainnya berusaha membuat suasana kondusif dengan memanggil siswa lain untuk kembali ke lapangan. Dan setelah peserta berkumpul lagi, Ahong pun disadarkan oleh teman-temannya agar kembali melanjutkan tugas hingga akhir.
Mereka menunjukkan bagaimana kerjasama dalam tim seharusnya terjadi. Kesalahan adalah sebuah hal yang wajar dan saat hal tersebut terjadi, maka solusilah yang harus dikedepankan. Alih-alih menyalahkan, mereka saling bahu membahu agar tujuan mereka tercapai: upacara yang berlangsung dengan baik.
Film dengan Sarat Pesan
Sebagai film anak, saya merasa Bubar, Jalan memang memiliki banyak pesan yang mendidik. Selain masalah kerjasama tim yang diangkat, saya melihat sebuah pesan yang seolah-olah ingin diselipkan di dalam film ini, yaitu tentang keberagaman.
Mengapa Ahong menjadi pemimpin?
Sekilas tidak ada yang istimewa rasanya kenapa Ahong yang terpilih menjadi pemimpin upacara. Setiap murid nyatanya berhak dan memungkinkan ditunjuk menjadi petugas upacara.
Ahong memang sedikit terlihat berbeda dari temannya. Berdasar nama panggilan dan sipit matanya bisa tertebak ia keturunan Tiongkok. Tetapi ia bisa mendapat peran yang sangat penting sebagai pemimpin upacara. Untuk mendapatkan posisi tersebut, tidak sembarang murid yang biasanya ditunjuk oleh para guru.
Kisah Ahong beserta teman-teman petugas lainnya mengingatkan saya kepada sebuah iklan yang pernah jaya di masa 90-an. Iklan ini menceritakan tiga anak kecil dengan etnis berbeda yang tumbuh bersama : Acong, Joko dan Sitorus.
Persahabatan tiga tokoh dalam iklan sejalan dengan persahabatan Ahong dan kawan-kawannya. Rasanya menjadi sesuatu yang melegakan, bahwa kita sudah semakin nyaman menerima isu perbedaan. Makin baik apabila sudah bisa tertanam sedari dini (kecil).