Balasan Kasih untuk Ibu

Sumber: tribunnews.com

Menyajikan sebuah pesan ke dalam sebuah layar kaca memang bukan pekerjaan yang mudah. Apalagi jika film tersebut berdurasi hanya hitungan menit. Tetapi, siapa sangka, sebuah cerita tentang Lemantun (lemari, Bahasa Jawa) yang berdurasi singkat ini menjadi sebuah kisah yang memiliki sarat makna? 

Film dibuka dengan adegan seorang ibu berkumpul dengan kelima orang anaknya. Sang ibu hendak mewariskan sebuah lemari yang ia beli di setiap momen kelahiran anaknya. Lewat kertas undian berisi nomor lemari, ibu ingin lemari itu dibawa oleh setiap anak ke rumah masing-masing.

Memuliakan Ibu

Tak ada yang bermuka masam apalagi mengajukan protes ketika sudah jauh-jauh diminta pulang ke rumah induk ternyata untuk memboyong lemari tua ke kediamannya masing-masing. Bahkan sang ibu tidak ingin menunda barang seharipun. Ini membuat anak-anaknya kelimpungan untuk segera mencari angkutan di pedesaan. 

Mereka melaksanakan titah Ibu dengan sungguh-sungguh. Ada yang menggunakan mobil pribadi, maupun menyewa kendaraan pengangkut. Meski kemudian, beberapa dari lemari-lemari tersebut bernasib miris. Ada yang teronggok bersama barang tak terpakai di gudang, atau terpajang sebagai barang jualan. Padahal, lemari tersebut memiliki banyak kenangan dan nilai berharga sebagai warisan Ibunda. 

Tapi sang sutradara sesungguhnya membawakan sudut pandang cerita yang realistis. Sebagai seorang dewasa adakalanya kita menjadi pragmatis dan melihat sebuah benda hanya dari nilai materialnya. Memori yang pernah tersimpan dalam benda tersebut dirasa tidak lagi relevan di masa kini. 

Sedikit banyak adegan ini membuat hadir dua perasaan sekaligus: miris namun kagum. Miris karena ternyata, mereka tega membuang lemari yang diberikan oleh ibunya. Kagum karena, meskipun mereka berpendidikan tinggi tetapi mereka tidak lupa menunjukkan sopan santun kepada ibunya. Tidak ada penolakan apapun saat ibu mereka mewarisi sebuah lemari tua. Sebuah penghormatan dari seorang anak, yang memang wajar diberikan kepada sang ibu.

Tinggal Bersama Orangtua, Memalukankah?

“Tri, eling lho. Ibu ki wis sepuh , ojo nambahi beban pikirane”

(Tri, ingat lho. Ibu sudah tua, jangan menambahkan beban pikirannya)

Begitu lah ungkapan kakak tertua kepada Tri. 

Di awal film saat pengundian berlangsung kita bisa menyimak semua orang duduk di kursi, kecuali Tri. Padahal, Tri adalah anak ketiga. Sebagai yang lebih tua seharusnya ia ikut duduk di kursi. 

Kejanggalan ini perlahan terjawab. Dari pakaian Tri yang mencolok dengan kaus bernodanya dibanding saudaranya yang berbaju necis. Obrolan saudaranya membanggakan profesi masing-masing, dan Tri dari posisi jongkoknya menatap penuh antusias dan kagum pada saudara lainnya.

Akhirnya kita memahami secara ekonomi memang Tri lebih tak berdaya dibanding saudaranya. Hanya berjualan bensin eceran, tak memiliki kediamannya sendiri dan masih menumpang di rumah orangtua. Apakah dengan kondisi ini benar Tri adalah sebuah beban bagi sang ibu ?

Justru lewat film ini, tergambarkan bakti yang bisa diberikan oleh Tri dengan tinggal bersama ibunya. Ia bisa membantu ibunya dalam memasak, menemani hidup ibunya yang sudah tua tetapi sendiri. 

Bahkan di akhir cerita, sang ibu yang jatuh di kamar mandi pun bisa terselamatkan berkat Tri yang ada di rumah, tinggal bersamanya. Coba bayangkan, jika saat itu sang ibu hanya sendirian. Mungkin ia tidak bisa selamat dan anak-anaknya akan menyesali kenapa meninggalkan ibu mereka sendiri.

Bentuk berbakti kepada ibu yang telah bersusah payah melahirkan dan membesarkan anak-anak memang bisa bermacam-macam. Tidak ada yang paling benar, pun tidak ada yang salah. Setiap anak punya caranya sendiri-sendiri. Entah itu tetap menampilkan muka bahagia meski tidak butuh lemari pemberian ibu. Atau bahkan, tetap tinggal menemani hari- hari tua sang ibu dengan kesederhanaan, sehingga ibu tidak merasa sendiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *